Diberdayakan oleh Blogger.

Selasa, 07 Februari 2012

Menunjukkan Jalan yang Benar


Oleh : Prof. Dr. Ing. Fahmi Amhar
Pernahkah Anda mendengar kisah tentang jamaah haji Indonesia yang tersesat di Makkah, lalu bertanya kepada orang Arab di pinggir jalan.  Sambil menunjukkan kartu identitas dengan alamat pondokannya, dia mengucapkan satu ayat al-Fatihah “Ihdinas shiraathal mustaqim” (Tunjukkanlah kami jalan yang lurus/benar).  Semula orang Arabnya tertegun, tetapi lalu tersenyum setelah menangkap apa yang dimaksud, dan lalu mengantar si orang tadi ke pondokannya yang ternyata tidak jauh.

Istilah “jalan yang benar” memang bisa memiliki makna mendalam seperti jalan hidup, tetapi dapat juga makna langsung seperti mengetahui arah.  Dan bicara tentang arah, kita sekarang mengandalkan kompas. 

Di Barat, yang dianggap penemu kompas adalah Flavio Gioja dari Amalfi, Italia.  Namun sejarawan Sigrid Hunke menyebut bahwa Flavio mengenal kompas dari orang Arab, bahkan dia bukan orang Barat pertama yang belajar kompas!

Bahwa jarum magnetik menunjuk ke utara, sudah diketahui orang Cina berabad sebelum Rasulullah.  Anehnya, orang Cina justru baru mengamati penggunaan kompas dalam perjalanan di lautan pada orang asing di abad-11 M.  Dan siapa lagi orang-orang asing pada saat itu, yang berdagang dengan kapal-kapalnya di samudera Hindia hingga ke Cina, kalau bukan orang Arab! 

Sementara itu sumber-sumber Arab pada kurun waktu yang sama memang menyebutkan penggunaan kompas.

Orang Barat pertama yang mengenal kompas adalah Petrus dari Maricourt, Prancis, yang sepulang dari perang Salib menjadi guru Roger Bacon.  Roger Bacon adalah tokoh filosof pra zaman Rennaisance.  Petrus mengajar tentang magnetisme dan kompas. Pada tahun 1269 ia  menulis makalah “Epistola de magnete”.  Baru 33 tahun setelah itu, Flavio Gioja dari Amalfi sibuk dengan kompas. 

Amalfi adalah tempat yang terletak di dekat Venezia, sebuah kota pelabuhan, yang banyak perwakilan dagang Arabnya.  Maka sangat masuk akal kalau kemudian Flavio mendapatkan pengetahuan kompas ini dan meneruskannya di Barat.

Keberadaan kompas untuk mengetahui arah adalah kemajuan yang signifikan dalam navigasi.  Semula, arah diketahui dengan melihat matahari atau konstelasi bintang.  Namun metode ini selain membutuhkan waktu yang lama juga tak dapat dilakukan saat langit berawan. 

Meski demikian, dalam bernavigasi di lautan, keberadaan kompas tidak berdiri sendiri, melainkan harus dikombinasi dengan keberadaan jam dan peta yang baik.  Dengan mengetahui lama perjalanan, kecepatan rata-rata, dan arah, maka navigator kapal dapat memperkirakan lokasi kapal yang aktual di atas peta.  Tentu saja akurasi metode ini sangat tergantung pada asumsi kecepatan kapal, yang boleh jadi tergantung arus laut dan angin.  Biasanya mereka tetap mengkalibrasi lokasinya dengan astronomi (mengukur sudut posisi matahari atau bintang) pada saat langit cerah.  Dengan metode semacam itu kaum Muslimin pada masa itu menjadi pelaut yang paling handal di samudera, yang berani berlayar sampai ke Cina, dan di Laut Tengah hampir tidak lagi memiliki lawan.

Tidak banyak catatan yang menceritakan, siapa ilmuwan Muslim yang berada di balik pengembangan kompas.  Namun dengan melihat prestasi beberapa ilmuwan besar, kita dapat menduga bahwa ketiga anak Musa bin Syakir yang hidup di zaman khalifah al-Ma'mun sudah berkutat dengan benda ini, mengingat banyaknya penemuan yang mereka lakukan terkait dengan mekanika dan astronomi.  Muhammad bin Musa – si anak tertua – bahkan pernah membuatkan jam untuk Kaisar Karl der Grosse dari Aachen Jerman.

Pada abad-21 ini, peran kompas untuk navigasi masih besar, walaupun pelan-pelan digeser oleh keberadaan piranti GPS, yang sekarang sudah banyak menjadi bonus pada peralatan komunikasi.  Namun demikian, diyakini bahwa kompas masih akan bertahan berabad-abad lagi, mengingat dia tidak tergantung pada sistem satelit GPS yang dikuasai negara-negara adidaya.  Apalagi sistem satelit ini ternyata juga rentan pada gangguan angin partikel dari matahari, yang konon bakal meningkat pada tahun-tahun mendatang.

Dan tahukah Anda, bahwa ada seorang anak kecil di akhir abad-19 yang semula malas belajar, lalu tiba-tiba dia terpesona oleh hadiah dari ayahnya.  Anak kecil itu kemudian berkembang menjadi fisikawan besar.  Dialah Albert Einstein.  Dan hadiah dari sang ayah itu adalah: sebuah kompas![]

0 komentar

Posting Komentar